Pada tahun 1615
atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi
Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis
dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama
di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin
cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah,
diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat
ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah
surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik
percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih
berbentuk koran iklan.
Pada masa ini,
surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri
dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan
rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang
mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di
zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan
karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Peranan yang
telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan,
dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak
sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha
proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi
para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode
“revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita.
Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu
pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh
pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di
daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.
Dalam aksi-aksi
ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik
Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan
terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers
kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan,
menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang
melampaui batas-batas kesopanan. mungkin kontol
Periode yang
terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama.
Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Ketika alam
Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers
kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi
dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai
sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses
pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers
mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat
untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Salah satu jasa
pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang
bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan
kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya
sebagai presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar